Image source: Learning From Everyone You Meet
"Kamu bisa belajar dari siapa pun, bahkan musuhmu."
― Ovid
Ada peristiwa yang membuka wawasan pemikiran saya. Hal tersebut terjadi beberapa hari yang lalu tepatnya malam tanggal 4 Oktober 2016 sekitar pukul 22:15 WIB.
Menunggu Angkot
Saat itu saya sedang menunggu angkot di sekitar Lubuk Pakam untuk pulang ke medan. Saya menunggu dengan was-was karena biasanya jam 22:00an angkot cukup sulit didapatkan. Di saat menunggu, datang seorang laki-laki yang kisaran umurnya sekitar 35-40 tahun yang juga sama-sama menunggu angkot.Beberapa waktu berlalu, dan sambil duduk menunggu di bangku yang ada di kios di pinggir jalan di dekat tempat saya menunggu, saya berpikir untuk menyapa orang tersebut. Namun dalam pandangan saya orang tersebut bukan orang yang akan merespon dengan baik jika disapa, saya menilainya dari sikapnya yang tergesa-gesa dan terfokus untuk menunggu datangnya angkot.
Sudah hampir setengah jam berlalu, tidak ada angkot yang lewat, kecuali angkot yang sedang pulang tanpa mencari sewaan. Dalam hati saya kuatir juga, masakan mau nginap di daerah itu padahal uang pun sudah pas-pasan. Saya perhatikan ternyata laki-laki tersebut juga sepertinya kuatir karena angkotnya tidak kunjung datang, namun tidak saya dengar keluh kesahnya sama sekali. Biasanya orang yang kuatir sedikit berisik, yang dilakukan entah sengaja atau karena kebiasaaan, untuk menyeimbangkan rasa kuatirnya. Tetapi hal ini tidak terjadi pada laki-laki tersebut.
Laki-laki tersebut berdiri dengan arah mata menuju ke arah arus datangnya kendaraan. Kekuatiran nampak jelas dari sikap tubuhnya. Tentu sikapnya menambah kekuatiran yang saya rasakan saat itu. Namun untunglah beberapa waktu kemudian sebuah mobil angkutan antar kota dengan model L300. Namun agak ganjil rasanya karena lelaki tersebut tidak mendatangi mobil tersebut untuk menanyakan arah tujuan. Ia malah menunggu saya untuk menanyakan tujuan mobil tersebut. Karena memang ingin bergegas pulang, saya tidak memikirkan terlalu jauh dan menanyakan tujuan mobilnya. Sang supir menjawab bahwa tujuannya Medan. Keganjilan kedua terjadi, lelaki sebelumnya mempersilahkan saya duluan masuk ke mobil padahal dia saat itu yang sudah membuka pintu. Meski ganjil, tetapi merupakan sebuah nilai tata krama ketimuran yang saya kagumi. Ditengah-tengah perubahan nilai moral dari orang-orang kota, lelaki tersebut masih menjunjung tinggi budayanya. Nilai moral yang mulai terkikis dan agak jarang kita temukan dari kebiasaan orang-orang kota di Medan.
Saya sangat tertolong oleh orang tersebut, karena seandainya saja dia tidak berdiri menunggu mungkin saja saya bisa lebih lama lagi menunggu angkutan. Bahkan kemungkinan saya tidak pulang, walaupun kecil kemungkinannya.
Di Dalam Mobil
Setelah berada dalam mobil yang kami naiki tersebut saya mengucap syukur pada Tuhan dalam hati karena akhirnya saya bisa pulang ke medan. Akhirnya saya bisa kembali menuju ke kamar kost-kostan yang tercinta.Dalam perjalanan menuju medan tersebut saya mencoba memperhatikan keadaan di dalam mobil. Ada 5 orang penumpang termasuk saya dan laki-laki tadi, dengan 1 orang supir. Perhatian saya kemudian tertuju pada laki-laki itu yang duduk tepat di sebelah kiri saya. Saya perhatikan dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Ahh, mungkin saja dia merasa senang karena bisa pulang, pikirku. Namun lama-kelamaan kelihatan ada sesuatu yang aneh dari orang tersebut. Ia menunjukkan tingkah yang tidak seperti orang normal umumnya.
Sikapnya kelihatan aneh. Ia menggerakan tangannya seperti sedang menggambarkan sesuatu. Sesekali ia meninju-ninjukan kepalan tangannya ke arah depan. "Wah, bahaya nih", dalam hati saya berguman. "Jangan-jangan orang gila orang nih. Apa yang dipikirkan supir nanti, jangan-jangan supir berpikir dia teman saya. Jangan-jangan supir berpikir karena aku makanya dia naik.", pikirku dalam hati. Prasangka saya pun semakin bertambah kuat ketika melihatnya seolah-olah ingin mengigit dengan keras bungkusan plastik yang saat itu dibawanya. Penumpang yang lain tidak memperhatikan hal-hal tersebut karena saat itu lampu ruangan mobil sengaja dipadamkan seperti yang biasa dilakukan saat sedang dalam perjalanan.
Namun suara hati saya mengingatkan saya untuk tidak terburu-buru membenarkan pemikaran saya tersebut. Saya ikuti kata hati dan lebih memperhatikan dengan saksama laki-laki tersebut. Mungkin saja dia sedang tertekan atau barangkali dia sedang dilanda kesenangan yang besar, karena di saat-saat seperti itu banyak orang mengalami 'kegilaan sementara'. Saya semakin mengamatinya.
Orang Gilakah?
Logika saya mengatakan lelaki tersebut orang gila, namun hati saya tidak bisa mempercayai logika saya saat itu. "Ada sesuatu yang kurang sepertinya", pikirku. Setelah hampir 3/4 perjalanan menuju ke medan, di sekitar daerah Kayu Besar, Tanjung Morawa, akhirnya nyatalah apa yang saya pikirkan sebagai bagian yang hilang dari pengamatan sebelumnya. Laki-laki tersebut memberikan kode kepada supir, dengan suara yang tertahan dengan satu nada yang sama, untuk memberhentikan mobilnya karena dia telah sampai ke tujuannya. Ternyata dia memiliki kekurangan fisik pada suaranya!.
Apa yang logika saya katakan ternyata salah besar. Laki-laki itu bukan orang gila, dia hanya memiliki kekurangan fisik di organ bicaranya. Ohh, betapa berdosanya aku saat itu.
Hal yang terakhir terjadi merupakan sebuah momen yang sangat menyentuh hati saya saat itu. Laki-laki tersebut sebelum menutup pintu mobil memberikan sebuah isyarat tubuh dengan sedikit membungkukan dirinya. Sebuah isyarat untuk rasa terima kasih yang sepertinya ditujukan kepadaku sebab saat itu hanya aku yang berada tepat di depannya. Saya sungguh keterlaluan; dia memberikan saya sebuah penghormatan tetapi saya sebelumnya menganggap dia tidak waras!.
Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya
Sekarang semakin saya sadari bahwa kita bisa belajar sesuatu dari orang lain. Siapapun orang itu, mau kaya, miskin, pengangguran, pengusaha sukses, anak-anak, pemuda, orang tua, dan bahkan dari orang yang tidak waras sekalipun. Ada nilai yang bisa kita dapatkan. Ada pembelajaran yang bisa kita petik manfaatnya.
Pemikiranku
Mungkin sebagian pembaca akan berpikir bahwa laki-laki itu memang gila. Saya malah berpikir bahwa apa yang dilakukan laki-laki itu - gerakan tangan yang aneh, gerakan sedang mengigit bungkus plastik - adalah sikap yang wajar. Mengapa demikian? Saya pikir cukup wajar jika seseorang berbicara kepada dirinya, bermonolog dengan dirinya sendiri. Hal ini wajar untuk orang yang memiliki organ bicara yang baik. Untuk orang dengan organ bicara yang rusak bagaimana? Dia berbicara dengan isyarat tangan dan tubuh, maka saya pikir juga wajar jika dia berbicara dengan dirinya sendiri menggunakan gerakan tubuhnya bukan?"Setiap orang yang engkau jumpai mengetahui sesuatu yang tidak kamu ketahui."
― Bill Nye