free counters
Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 15 Agustus 2016

Pak Supir, Karyawan, dan Pengusaha

by Unknown  |  in Motivasi at  Senin, Agustus 15, 2016

Ada kata-kata bijak yang mengatakan:

 "Kita dapat belajar dari siapapun, siapa pun dapat menjadi guru kita"
dan kata-kata ini tepat adanya.

Pengalaman saya kemarin malam mengajarkan betapa tepatnya kata-kata tersebut.

Saat itu saya sedang dalam perjalanan pulang ke kost di daerah sekitar padang bulan menggunakan angkot pada kisaran pukul 21:30. Dan saat itu penumpang hanya berjumlah 3 orang. Setelah hampir setengah perjalanan, tinggalah saya sendiri dan pak sopirnya. Dan terjadilah sebuah percakapan:

Pak Supir: Mau kemana bang?
Saya: Simpang pos Pak. (Pembaca yang tinggal di medan kemungkinan besar tahu dimana simpang pos)
Pak Supir: Abang yang kemarin naik yah?
Saya: Gak Pak, gak ada naik angkot kemarin Pak.
Pak Supir: Ohh, ada yang mirip sama abang kemarin.
Saya: (Dalam hati berpikir: Kayaknya awak gak ada naik angkot kemarin lah. Jadi saya berpikir, ternyata laku keras wajah awak di medan ini -- red. awak = saya, bahasa pasarnya medan.)
Pak Supir: Dari mana tadi bang?
Saya: Ngantar pacar Pak. (Inilah uniknya orang medan, yang ditanya dari mana tapi yang dijawab apa yang dilakukan)
Pak Supir: Setia juga yah. (Nah ini lebih hebat lagi. Walaupun dijawab lain dari pertanyaan, tapi tetap bisa dimengerti lawan bicaranya. Orang medan memang mantap)
Saya: Namanya juga pacaran Pak. (Dalam hati berkata: Awak memang setia, bawaan lahir)

...

Saya: Gak ada penumpang yah Pak.
Pak Supir: Iya, tadi aku tolak penumpang di lubuk pakam (Kalau saya artikan ini, saat itu penumpangnya penuh makanya gak diangkut)
Saya: Ohh..
Pak Supir: Nanti bulan 9 baru banyak penumpang.
Saya: ???. Kenapa bulan 9 Pak?
Pak Supir: Disitu mahasiswa masuk, jadi banyak penumpang.
Saya: Ohhhh...
Saya: Biasanya gak ramai hari minggu malam gini Pak?. Kan pulang dari kampung semua.
Pak Supir: Enggak bang, seperti hari biasa penumpangnya.
Saya: Ohh..
Pak Supir: Marga apa bang?
Saya: Sipayung Pak, simalungun.
Pak Supir: Ohh, Sipayung simalungun yah?
Saya: Ada yang simalungun ada yang toba Pak.
Pak Supir: Sama kayak Purba yah, ada simalungun ada juga toba.
Saya: Ada juga Purba Karo Pak.
Pak Supir: (Berbicara, tapi tidak jelas saya dengar karena berisiknya jalanan)
Saya: Bapak orang apa Pak?
Pak Supir: Aku orang jawa, tapi lahir di siantar.
Saya: Ohh..

... (pembicaraan diam beberapa detik)

Pak Supir: Dimana kampung bang?
Saya: Di Langkat, besitang Pak.
Pak Supir: Di medan tinggal di rumah atau kost?
Saya: Kost Pak.
Pak Supir: (Mengiyakan sambil fokus cari penumpang)

...

Pak Supir: Kuliah atau kerja bang?
Saya: Kerja Pak.
Pak Supir: Di mana?
Saya: Center Point Pak.
Pak Supir: Udah lama kerja di situ?
Saya: Baru beberapa bulan sih Pak.
Pak Supir: Berapa gajinya?
Saya: censored (tabu bicara gaji, hahahaha)

...

Saya: Masih jauh perjalanan Bapak yah. Ke pancur batu lagi yah.
Pak Supir: Iya, nanti sampai langsung cuci mobil lalu pulang bang.
Saya: Ohh.. (Mengangguk dan mengiyakan dalam hati)
Saya: Ini mobil Bapak sendiri?
Pak Supir: Iya.
Saya: Enak lah Pak yah, gak perlu lagi bayar setoran.
Pak Supir: Iya bang, kalau pagi sampai sore orang yang bawa. Maghrib saya yang mulai bawa.
Saya: Enaklah Bapak, sudah menerima uang setoran gak menyetor lagi.
Pak Supir: Yah gitu bang. Tapi sampai rumah gak enak juga bang.
Saya: (Bertanya dalam hati, apa yang gak enaknya)
Pak Supir: Sampai rumah gak bisa tidur cepat, paling cepat tidur jam tiga pagi. Menggambar.
Saya: Gambar apa Pak?
Pak Supir: Menggambar untuk proyek bangunan dari kantor.
Saya: Wahhh, hebat Bapak ini yah.
Pak Supir: Kalau hebat masih banyak yang lebih hebat di luar sana bang.
Saya: Setidaknya Bapak lebih hebat daripada saya yang masih menerima gaji dari orang. Bapak udah bisa menggaji orang.
...
...
Akhirnya saya sampai di tujuan, dan terpaksa menghentikan obrolan kami.

Kita lebih sering menutup mata dan berhenti untuk belajar berdekatan dengan orang lain hanya dikarenakan perbedaan pekerjaan. Dan karena itu kita menjadi buta akan kualitas yang dimiliki orang lain hanya karena pekerjaan kita kelihatan lebih berkelas daripada pekerjaan orang lain.

Setiap orang punya sisi positif yang dapat memberikan nilai tambah dalam kehidupan kita. Bahkan dari sisi negatifnya kita pun bisa belajar bahwa setiap orang punya kelemahan. Dan betapa besarnya kelemahan itu, tidak akan pernah menutupi potensi dari diri kita.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa kita tidak serta merta dapat menentukan apa kemampuan dari orang lain. Kita tidak dapat mengetahui mutiara yang tersembunyi dari orang lain tanpa kita berusaha untuk mengenal mereka lebih dalam. Dengan mengenal, kita mengetahui bahwa kita ternyata perlu banyak belajar dari orang lain. Ada banyak hal yang tidak bisa kita lakukan namun ternyata orang lain telah melakukannya. Setiap orang bisa menjadi yang ia inginkan. Setiap orang bisa menjadi guru yang baik bagi hidup kita. Setiap orang memiliki bumbu kehidupan yang bisa memberi makna dalam kehidupan kita.

Mari buka mata dan hati. Mari merendahkan diri untuk berusaha mengenal orang lain.


0 comments:

Silahkan tinggalkan komentar anda: